Legenda Situ Burung: Ketika Alam Membalas Luka
Jakarta - Di sebuah lembah yang dikelilingi bukit-bukit hijau di Kabupaten Bogor, tersembunyi sebuah danau kecil yang tenang, dikenal oleh warga sekitar dengan nama Situ Burung. Nama itu mungkin terdengar biasa saja, namun di balik kejernihan airnya dan nyanyian alam yang menyertainya, tersembunyi sebuah kisah yang diwariskan turun-temurun. Legenda itu tak sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan warisan yang hidup dalam hati masyarakat Desa Cipeuteuy.
Konon, ratusan tahun yang lalu, di tempat yang kini menjadi Situ Burung, berdiri sebuah kampung kecil bernama Kampung Salaka. Kampung ini terkenal akan kekayaan alamnya, terutama oleh burung-burung yang datang dan pergi seolah menjadikan tempat itu sebagai surga kecil mereka. Salah satu burung yang paling sering terlihat adalah seekor burung jalak putih yang sangat cantik. Warga kampung menyebutnya Si Putih. Burung itu berbeda dari yang lain—ia tidak pernah terbang terlalu jauh dan sering terlihat mengitari rumah seorang gadis yatim piatu bernama Laras.
Laras dikenal sebagai gadis yang lembut dan penuh kasih. Ia hidup sebatang kara setelah orang tuanya meninggal karena sakit. Sejak kecil, ia bersahabat dengan alam. Ia bisa bercakap-cakap dengan binatang, begitu kata para tetua. Namun yang paling akrab dengannya adalah Si Putih. Setiap pagi, burung itu akan hinggap di jendela rumahnya, dan Laras akan menyapanya seolah sedang menyapa seorang sahabat lama.
Namun kedamaian itu tidak bertahan lama. Pada suatu musim kemarau panjang, kampung dilanda kekeringan hebat. Tanah retak, sawah mengering, dan sungai tak lagi mengalir. Warga mulai panik. Mereka percaya ada sesuatu yang mengusik keseimbangan alam.
Seorang dukun kampung kemudian bermimpi tentang Laras dan burung jalak putihnya. Dalam mimpi itu, sang burung bukanlah hewan biasa, melainkan jelmaan penjaga alam yang menyamar untuk menjaga keharmonisan manusia dan lingkungan. Namun karena keserakahan sebagian warga yang menebang pohon sembarangan dan meracuni sungai, roh penjaga itu murka.
Desas-desus pun berkembang. Warga mulai menuding Laras sebagai pembawa sial. Mereka menganggap burung peliharaannya sebagai penyebab kutukan. Dalam ketakutan dan kebingungan, warga memutuskan untuk mengusir Laras dan membunuh burung itu.
Ketika mereka datang dengan obor dan pentungan, Laras berdiri di depan rumahnya sambil memeluk Si Putih. Ia memohon agar mereka berhenti, namun suaranya tenggelam oleh teriakan massa. Saat itulah, angin kencang berhembus, langit menjadi gelap, dan hujan turun sangat deras. Petir menyambar, dan tanah di sekitar kampung mulai berguncang.
Dalam hitungan menit, seluruh kampung lenyap ditelan air. Hanya beberapa orang yang berhasil melarikan diri dan menyaksikan bagaimana tanah tempat Laras berdiri berubah menjadi genangan besar. Saat hujan berhenti, mereka melihat seekor burung jalak putih terbang melingkar di atas danau baru yang terbentuk. Sejak saat itu, tempat itu dikenal sebagai Situ Burung.
Kini, Situ Burung menjadi tempat yang dihormati. Warga setempat percaya bahwa roh Laras dan Si Putih masih menjaga tempat itu. Tak ada yang berani memburu burung di sana. Bahkan, setiap tahun, warga mengadakan ritual kecil di tepi situ sebagai bentuk penghormatan dan permohonan maaf atas kesalahan leluhur mereka.
Legenda Situ Burung bukan sekadar kisah mistis dari masa lalu. Ia menjadi pengingat akan pentingnya menjaga alam dan tidak melupakan harmoni antara manusia dan makhluk lain di bumi. Karena bila keseimbangan itu terganggu, bukan tak mungkin alam akan kembali menunjukkan murkanya.
Komentar
Posting Komentar