Natal: Saatnya Membumikan Kasih di Tengah Dunia yang Bergejolak
Jakarta - Natal selalu hadir dengan janji damai dan kasih. Namun, di tengah dunia yang terasa semakin gaduh oleh konflik, intoleransi, dan ego sektoral, saya meyakini bahwa makna Natal menjadi semakin mendesak untuk dibumikan — tidak hanya di dalam gereja, tetapi juga dalam keseharian kita.
Setiap tahun, kita menyaksikan lampu-lampu Natal menghiasi sudut-sudut kota, lagu-lagu merdu menggema di pusat perbelanjaan, dan pesta diskon merangsang antusiasme konsumen. Namun di balik gemerlap ini, saya kerap bertanya: sudahkah kita benar-benar menghayati semangat Natal?
Natal, bagi saya, lebih dari sekadar perayaan liturgi. Ia adalah panggilan untuk menghidupi kasih secara nyata. Ia mengundang kita untuk keluar dari zona nyaman, melihat mereka yang terpinggirkan, mengulurkan tangan kepada yang lemah, dan berbicara tentang kebenaran di tengah dunia yang makin pragmatis. Tanpa semua itu, Natal hanya akan menjadi ritus tanpa ruh.
Indonesia, dengan segala keberagamannya, memberikan kita tantangan dan peluang. Di satu sisi, kita patut berbangga karena perayaan Natal tetap berlangsung damai di berbagai penjuru negeri. Namun di sisi lain, benih-benih intoleransi, ujaran kebencian, dan fanatisme sempit masih mengintai. Saya percaya, justru pada momentum Natal inilah kita dipanggil untuk menyalakan lilin di tengah kegelapan tersebut — mempererat simpul persaudaraan antaragama, mempertegas sikap saling menghormati, dan memperjuangkan ruang publik yang inklusif untuk semua.
Dalam konteks sosial hari ini, saya melihat Natal bukan hanya milik umat Kristiani. Semangat berbagi, pengampunan, dan perdamaian yang diajarkan Natal adalah warisan kemanusiaan universal. Dunia yang dilanda perang, bencana, dan ketidakadilan sangat membutuhkan spirit ini. Setiap dari kita, apapun latar belakangnya, bisa menjadi pembawa pesan Natal lewat tindakan-tindakan sederhana: mendengarkan lebih banyak, menghakimi lebih sedikit, dan mencintai tanpa syarat.
Perayaan Natal yang sejati, bagi saya, bukan diukur dari seberapa megah pesta yang kita gelar, melainkan dari seberapa besar transformasi yang kita ciptakan di lingkungan kita. Apakah kehadiran kita membawa kedamaian? Apakah ucapan kita menguatkan, bukan meruntuhkan? Apakah tangan kita merangkul, bukan menyingkirkan?
Saat lilin-lilin Natal dinyalakan dan lonceng-lonceng berbunyi, marilah kita ingat: dunia ini tak hanya membutuhkan lebih banyak keceriaan, tetapi juga lebih banyak kepedulian. Dunia ini tak hanya perlu disinari oleh lampu, tetapi lebih penting lagi oleh kasih sejati.
Komentar
Posting Komentar